Sabtu, 28 Mei 2016

Profesionalisme Guru Agama

Oleh KH MA Sahal Mahfudh Masalah pendidikan, khususnya yang menyangkut agama Islam selalu menghadapi tantangan dan problematika yang tidak kunjung henti. Ia senantiasa aktual dengan berbagai perkembangan dan perubahan kehidupan manusia, karena ia memang merupakan kebutuhan inheren bagi kehidupan manusia sebagai sarana mempertahankan "karamah" yang diberikan oleh Allah. <>Meskipun karamah manusia diberikan menyatu dengan eksistensinya, secara fungsional ia tidak bisa berkembang secara alami, melainkan harus melalui proses. Satu-satunya jalan untuk itu adalah melalui pendidikan. Manusia menurut Rasulullah dilahirkan di atas fitrah, suci dan bersih. Ketika masih di alam arwah, ia telah berikrar mengakui ketuhanan Allah. Tetapi Rasulullah sendiri kemudian mengisyaratkan kemungkinan adanya perubahan, tergantung bagaimana orang tuanya mendidik dan mengarahkan. Pendidikan agama Islam paling tidak mempunyai fungsi esensial, yaitu mempertahankan eksistensi fitrah manusia itu dan mengembangkannya sedemikian rupa. *** Pendidikan Islam pada dasarnya adalah proses pembentukan watak, sikap dan perilaku Islami yang meliputi iman (aqidah), Islam (syari'at) dan ihsan (akhlaq, etika dan tasawuf). Tujuan pokoknya adalah mempersiapkan peserta didik agar mampu menjadi khalifah Allah yang akram (mulia) yang berarti lebih bertakwa kepada Allah dan yang shalih dalam arti mampu mengelola, mengembangkan dan melestarikan alam. Fungsi mereka sebagai khalifah adalah pertama, ibadatullah baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial, di mana di dalam komunitas berbangsa, mereka juga dituntut oleh ajaran Islam untuk memberikan manfaat kepada orang lain dalam kerangka ibadah sosial. Fungsi kedua ‘imaratul ardli, yakni membangun bumi ini dengan berbagai upaya untuk menunjang kebutuhan hidup sebagai sarana melakukan ibadah dalam rangka mencapai tujuan hidupnya, yakni sa'adatud darain. Selain itu, dari sudut pandang yang lain, pendidikan keagamaan merupakan manifestasi dan upaya peningkatan kualitas kemanusiaan, sebagaimana dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, manusia yang beriman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta bertanggung jawab. Rumusan itu jelas menunjukkan, kualitas manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa serta berbudi luhur menupakan tujuan yang mesti dicapai melalui pendidikan keagamaan. Sementara itu, UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, memilahkan pendidikan agama menjadi dua bentuk yang berbeda, yaitu: • Bidang studi pendidikan agama sebagai bagian dari kurikulum/program lembaga pendidikan umum. • Lembaga-lembaga pendidikan dengan ciri khas keagamnan, yang dikelola oleh pemerintah mau pun masyarakat. Pada bentuk pertama, di samping pendidikan agama mempunyai porsi yang relatif kecil, sering pula dipahami dan diimplementasikan sebagai pengajaran agama. Dengan metode tertentu, pengajaran agama itu bersifat kognitif dan kecil sekali sumbangannya dalam membentuk kepribadian peserta didik. Bila pendidikan dipahami sebagai suatu tindakan sadar untuk membentuk watak dan tingkah laku secara sistematis, terencana dan terarah, maka pendidikan agama Islam harus merupakan sistem yang mengarah pada terbentuknya karakter, sikap dan perilaku peserta didik yang sarat dengan nilai-nilai Islam. Dengan kata lain, pendidikan Islam seharusnya bisa mengembangkan kualitas keberagamaan Islam baik yang bersifat affektif, kognitif maupun psiko-motorik. Pada gilirannya, pendidikan Islam merupakan produk pengembangan kepribadian muslim Indonesia yang sedang menghadapi berbagai bentuk transformasi. Pengembangan kepribadian muslim yang berarti proses interaksi dari serangkaian kegiatan dan pendukung pendidikan itu, kini menghadapi sejumlah tantangan. Tantangan yang paling mendasar adalah keterkaitan pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja. Pendidikan selalu dianggap tidak menjanjikan terbentuknya manusia produktif, manusia siap kerja, mampu bersaing dalam mencapai taraf hidup yang memadai. Ini berarti bahwa pertimbangan praktis dan pragmatis lebih mendominasi kehidupan, termasuk juga pendidikan, dengan mengabaikan pertimbangan idealistik spiritual. Pengembangan sebagai proses seperti dimaksud di atas, dititiktekankan pada perubahan sikap dan wawasan sesuai dengan perkembangan komunitas yang ada. Pengembangan itu harus bisa mendinamisasi gagasan, ide baru dan penyebarannya dengan pendekatan yang tepat. Dan sebagai program, ia harus merupakan kegiatan yang terencana dan tertanam dalam suatu bingkai manajerial yang profesional. *** Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya aku diutus sebagai pengajar”. Dalam hadits lain Rasulullah menegaskan, "Barang siapa mendidik seorang anak kecil hingga ia mampu mengucapkan kalimat laa ilaaha illa Allah, maka Allah tidak akan menghisabnya kelak". Sementara Allah dalam surat al-Jumu'ah ayat 2 berfirman: "Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. Dan benar-benar mereka sebelumnya dalam kesesatan yang nyata". Meskipun pengajar dan pendidik mempunyai konotasi yang berbeda, namun masing-masing mempunyai fungsi yang seharusnya tidak bisa terpisah dari guru. Rangkaian dua hadits dan ayat Al-Qur’an di atas, secara esensial menunjukkan hal itu. Dari sini, banyak ulama yang kemudian merumuskan kriteria guru, baik dan sifat, sikap dan kepribadian serta wataknya. Secara umum, paling tidak seorang guru harus memiliki beberapa sifat, yaitu: zuhud, ikhlas, suka mema’afkan, memahami tabi'at murid, berkepribadian yang bersih, bersikap sebagaimana bapak terhadap anaknya dan menguasai mata pelajaran yang menjadi bidangnya. Lebih lanjut, Imam al-Ghazali mengembangkan rumusan tersebut, sebagaimana termaktub dalam Ihya ‘Ulumuddin berikut ini. Pertama, kerja mengajar dan membimbing/mendidik adalah tugas seorang guru. Sifat pokok yang harus dimiliki guru adalah kasih sayang dan lemah lembut. Pergaulan murid dengan guru akan melahirkan sikap percaya kepada diri sendiri dan rasa tenteram bersama gurunya. Hal ini sangat membantu murid menyerap pengetahuan sebanyak-banyaknya. Karenanya, guru hendaknya berperan sebagai ayah atas anak didiknya, bahkan hak guru atas anak didiknya lebih daripada hak ayah atas anaknya. Kedua, meminta upah dalam mengajar adalah sesuatu yang perlu ditinjau lebih lanjut. Dalam sejarah Yunani Kuno, seorang guru yang mendapat gaji ternyata tidak mendapatkan penghormatan yang cukup dari masyarakat. Dalam hal ini al-Ghazali berkata: “Barang siapa mencari harta dengan ilmu pengetahuan, maka ia seperti orang yang mengusap alat penggosok dengan mukanya sendiri untuk membersihkannya. Maka terjadilah penjungkirbalikan, majikan menjadi pelayan dan pelayan menjadi majikan". Rumusan ini dalam konteks kekinian memang akan menimbulkan kontroversi berkepanjangan, kemudian terjadilah lingkaran setan yang tak pernah selesai. Pertimbangan bahwa guru adalah manusia biasa yang secara ekonomis tidak bisa tidak harus mencari nafkah bagi kehidupannya, adalah merupakan pemikiran tersendiri yang tidak bisa diabaikan. Ia menuntut kita, sebagai insan pendidik untuk merenungkannya lebih lanjut. Ketiga, hendaknya guru mampu menjadi pembimbing yang jujur dan terpercaya bagi muridnya. Juga hendaknya ia senantiasa menanamkan keyakinan pada hati murid bahwa menuntut ilmu hanyalah semata untuk mendekatkan diri kepada Allalh, bukan kesombongan, mencari harta dan kedudukan, pamer ilmu, bersilat lidah, bertengkar dan berdebat. Keempat, guru tidak layak menyebarluaskan kekurangan dan kesalahan murid karena akan merangsang timbulnya protes murid secara demonstratif. Mereka akan dihantui rasa bersalah yang bisa membuat mereka protes sebagai cara mempertahankan diri. Arahan, teguran dan juga bimbingan guru dapat disampaikan dengan penuh kasih sayang tanpa emosi. Kelima, karena guru adalah teladan yang diikuti oleh murid, maka sejadini ia harus memiliki keluhuran budi dan toleransi. Konsekuensinya, seorang guru harus menghormati ilmu-ilmu di luar spesialisasinya. Begitu pula ia tidak boleh fanatik terhadap disiplin ilmunya sendiri. Keenam, guru harus menyesuaikan kemampuan intelektual murid dalam menyampaikan pengajaran. Nabi Isa AS pernah bersabda: “Jangan mengalungkan seuntai kalung mutiara kepada seekor babi". Dan Allah sendiri menegaskan: "Dan janganlah kamu memberikan kepada orang yang belum sempurna harta mereka, apa yang ada pada kekuasaanmu". Ketujuh, guru harus mendalami faktor-faktor kejiwaan sang murid. Karena itu tidak layak bagi seorang guru untuk menyampaikan pikiran-pikiran kontroversial yang bisa membingungkan murid, utamanya dalam mengajarkan ilmu-ilmu agama. Kedelapan, di samping sebagai orang yang ‘alim, guru juga harus 'amil. Dalam hal ini, guru harus mempunyai kesungguhan untuk merealisasikan apa yang diajarkannya, tidak hanya sanggup berbicara saja. Dalam surat al-Baqarah ayat 44 Allah bersabda: "Apakah engkau suruh orang berbuat baik, sementara engkau lupakan dirimu sendiri”. *** Dari sudut pedagogis, guru yang ideal itu mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai obyek (terdidik) dan sebagai subyek (pendidik). Kedua fungsi yang melekat pada diri guru ini harus sama-sama aktif. Oleh karenanya guru dalam posisi atau fungsi apapun dituntut untuk berwatak kreatif, produktif, dan inovatif. Dalam setiap kondisi dan situasi ia haruslah selalu dalam proses yang dinamis, tidak monoton. Sifat monoton dapat menumbuhkan situasi statis. Di sini peningkatan kemampuan seorang guru jelas hanya akan tergantung pada sejauh mana proses tersebut di atas dapat diwujudkan secara terus menerus untuk mencapai suatu tujuan yang terkait dengan bidang studi mau pun lembaga (sekolah) tempat ia mengajar. Sebagai guru agama Islam ia terikat oleh tujuan bidang studinya, baik tujuan instruksional mau pun tujuan umum termasuk tujuan pribadi. Yang dimaksud tujuan pribadi adalah penanaman atau sosialisasi karakter atau kepribadian (syakhshiyah), sehingga dengan demikian seorang guru agama Islam dituntut berkarakter yang baik. Watak bagi seorang guru agama Islam seperti di atas sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian anak didik yang Islami, yaitu kepribadian yang diorientasikan pada al-akhlaq al-karimah dan keimanan serta keislaman yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku anak didik dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini pendekatan yang paling penting adalah pendekatan keteladanan seorang guru. Unsur pendidikan di sini harus lebih dominan daripada unsur pengajaran, karena pembentukan watak karakteristik yang disebut kepribadian lebih dipengaruhi oleh cara pendekatan persuasif yang berbeda-beda, berdasarkan pluralitas latar belakang ego para peserta didik. Pembentukan karakter murid kurang tepat menggunakan pendekatan instruksional dengan metodologi pengajaran tunggal. Di sini sering terjadi kerancuan antara pendekatan pendidikan yang mengarah pada pembentukan kepribadian dengan pendekatan pengajaran yang mengarah pada pembentukan intelektualitas. Akibatnya ialah terbentuknya intelektual yang tidak berkepribadian atau terbentuknya kepribadian tanpa daya intelektual. Maka keterpaduan antara keduanya harus ditingkatkan agar terbentuk manusia yang qowiyyun amiinun. Manusia al-amin yang sarat dengan kepribadian Islami sekaligus manusia al-qowiy yang sarat dengan intelektualitas, potensi dan profesi. *) Diambil dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). Tulisan ini pernah disampaikan pada seminar sehari Guru Pendidikan Agama Islam Sekolah Dasar se-Kabupaten Jepara, 3 Juni 1993. Judul asli "Profesionalisme Guru Pendidikan Agama Islam dan Pembentukan Pribadi Siswa".

Jumat, 20 Mei 2016

(وقال عليه الصلاة والسلام: {مَنْ لَمْ يَحْزَنْ لِمَوْتِ العَالِمِ، فَهُوَ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ} قالها ثلاث مرات

HILANGNYA ILMU DAN MENYEBARNYA KEBODOHAN Diantara tanda-tanda Kiamat adalah hilangnya ilmu dan menyebarnya kebodohan. Dijelaskan dalam ash-Shahiihain dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَثْبُتَ الْجَهْلُ. ‘Di antara tanda-tanda Kiamat adalah hilangnya ilmu dan tersebarnya kebodohan.’” [1] Al-Bukhari meriwayatkan dari Syaqiq, beliau berkata, “ِAku pernah bersama ‘Abdullah dan Abu Musa, keduanya berkata, ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ لأَيَّامًا يَنْزِلُ فِيهَا الْجَهْلُ وَيُرْفَعُ فِيهَا الْعِلْمُ. ‘Sesungguhnya menjelang datangnya hari Kiamat akan ada beberapa hari di mana kebodohan turun dan ilmu dihilangkan.’” [2] Dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ وَيُقْبَضُ الْعِلْمُ وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ وَيُلْقَى الشُّحُّ وَيَكْثُرُ الْهَرْجُ. ‘Zaman saling berdekatan, ilmu dihilangkan, berbagai fitnah bermunculan, kebakhilan dilemparkan (ke dalam hati), dan pembunuhan semakin banyak.’”[3] Ibnu Baththal berkata, “Semua yang terkandung dalam hadits ini termasuk tanda-tanda Kiamat yang telah kita saksikan secara jelas, ilmu telah berkurang, kebodohan nampak, kebakhilan dilemparkan ke dalam hati, fitnah tersebar dan banyak pembunuhan.” [4] Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari ungkapan itu dengan perkataannya, “Yang jelas, sesungguhnya yang beliau saksikan adalah banyak disertai adanya (tanda Kiamat) yang akan datang menyusulnya. Sementara yang dimaksud dalam hadits adalah kokohnya keadaan itu hingga tidak tersisa lagi keadaan yang sebaliknya kecuali sangat jarang, dan itulah isyarat dari ungkapan “dicabut ilmu”, maka tidak ada yang tersisa kecuali benar-benar kebodohan yang murni. Akan tetapi hal itu tidak menutup kemungkinan adanya para ulama, karena mereka saat itu adalah orang yang tidak dikenal di tengah-tengah mereka.” [5] Dicabutnya ilmu terjadi dengan diwafatkannya para ulama. Dijelaskan dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّـى إِذَا لَمْ يَبْقَ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا. ‘Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu sekaligus dari para hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga ketika tidak tersisa lagi seorang alim, maka manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin, lalu mereka ditanya, kemudian mereka akan memberikan fatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat lagi menyesatkan orang lain.’” [6] An-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mencabut ilmu dalam hadits-hadits terdahulu yang mutlak bukan menghapusnya dari hati para penghafalnya, akan tetapi maknanya adalah pembawanya meninggal, dan manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemutus hukum yang memberikan hukuman dengan kebodohan mereka, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.”[7] Yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu al-Qur-an dan as-Sunnah, ia adalah ilmu yang diwariskan dari para Nabi Allaihissallam, karena sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan dengan kepergian (wafat)nya mereka, maka hilanglah ilmu, matilah Sunnah-Sunnah Nabi, muncullah berbagai macam bid’ah dan meratalah kebodohan. Adapun ilmu dunia, maka ia terus bertambah, ia bukanlah makna yang dimaksud dalam berbagai hadits. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا. “Lalu mereka ditanya, kemudian mereka akan memberikan fatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat lagi menyesatkan orang lain.” Kesesatan hanya terjadi ketika bodoh terhadap ilmu agama. Para ulama yang sebenarnya adalah mereka yang mengamalkan ilmu mereka, memberikan arahan kepada umat, dan menunjuki mereka jalan kebenaran dan petunjuk, karena sesungguhnya ilmu tanpa amal adalah sesuatu yang tidak bermanfaat, bahkan akan menjadi musibah bagi pemiliknya. Dijelaskan pula dalam riwayat al-Bukhari: وَيَنْقُصُ الْعَمَلُ. “Dan berkurangnya pengamalan.” [8] Imam adz-Dzahabi rahimahullah ulama besar ahli tarikh (sejarah) Islam berkata setelah memaparkan sebagian pendapat ulama, “Dan mereka tidak diberikan ilmu kecuali hanya sedikit saja. Adapun sekarang, maka tidak tersisa dari ilmu yang sedikit itu kecuali sedikit saja pada sedikit manusia, sungguh sedikit dari mereka yang mengamalkan ilmu yang sedikit tersebut, maka cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita.” [9] Jika hal ini terjadi pada masa Imam adz-Dzahabi, maka bagaimana pula dengan zaman kita sekarang ini? Karena setiap kali zaman itu jauh dari masa kenabian, maka ilmu pun akan semakin sedikit dan banyak kebodohan. Sesungguhnya para Sahabat Radhiyallahu anhum adalah orang yang paling tahu dari umat ini, kemudian para Tabi’in, lalu orang yang mengikuti mereka, dan merekalah sebaik-baik generasi, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ. “Sebaik-baiknya manusia adalah pada masaku, kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya.” [10] Ilmu senantiasa terus berkurang, sementara kebodohan semakin banyak, sehingga banyak orang yang tidak mengenal kewajiban-kewajiban dalam Islam. Diriwayatkan dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: يَدْرُسُ اْلإِسْلاَمُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْيُ الثَّوْبِ حَتَّى لاَ يُدْرَى مَا صِيَامٌ، وَلاَ صَلاَةٌ، وَلاَ نُسُكٌ، وَلاَ صَدَقَةٌ وَيُسْرَى عَلَى كِتَابِ اللهِ k فِـي لَيْلَةٍ فَلاَ يَبْقَى فِي اْلأَرْضِ مِنْهُ آيَةٌ، وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنَ النَّاسِ: الشَّيْخُ الْكَبِيرُ، وَالْعَجُوزُ، يَقُولُونَ: أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ؛ يَقُولُونَ: لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ فَنَحْنُ نَقُولُهَا: فَقَالَ لَهُ صِلَةُ: مَا تُغْنِي عَنْهُمْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَهُمْ لاَ يَدْرُونَ مَا صَلاَةٌ، وَلاَ صِيَامٌ، وَلاَ نُسُكٌ، وَلاَ صَدَقَةٌ فَأَعْرَضَ عَنْهُ حُذَيْفَةُ، ثُمَّ رَدَّدَهَا عَلَيْهِ ثَلاَثًا، كُلَّ ذَلِكَ يُعْرِضُ عَنْهُ حُذَيْفَةُ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِ فِي الثَّالِثَةِ، فَقَالَ: يَا صِلَةُ! تُنْجِيهِمْ مِنَ النَّارِ، ثَلاَثًا. “Islam akan hilang sebagaimana hilangnya hiasan pada pakaian sehingga tidak diketahui lagi apa itu puasa, tidak juga shalat, tidak juga haji, tidak juga shadaqah. Kitabullah akan diangkat pada malam hari hingga tidak tersisa di bumi satu ayat pun, yang tersisa hanyalah beberapa kelompok manusia: Kakek-kakek dan nenek-nenek, mereka berkata, ‘Kami men-dapati nenek moyang kami (mengucapkan) kalimat ini, mereka mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallaah’, maka kami pun mengucapkannya. Lalu Shilah [11] berkata kepadanya, “(Kalimat) Laa Ilaaha Illallaah tidak berguna bagi mereka, sedangkan mereka tidak mengetahui apa itu shalat, tidak juga puasa, tidak juga haji, dan tidak juga shadaqah. Lalu Hudzaifah berpaling darinya, kemudian beliau mengulang-ulangnya selama tiga kali. Setiap kali ditanyakan hal itu, Hudzaifah berpaling darinya, lalu pada ketiga kalinya Hudzaifah menghadap dan berkata, “Wahai Shilah, kalimat itu menyelamatkan mereka dari Neraka (sebanyak tiga kali).” [12] ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata: لَيُنْزَعَنَّ الْقُرْآنُ مِنْ بَيْنِ أَظْهُرِكُمْ، يُسْرَى عَلَيْهِ لَيْلاً، فَيَذْهَبُ مِنْ أَجْوَافِ الرِّجَالِ، فَلاَ يَبْقَى مِنْهُ شَيْءٌ. “Sungguh, al-Qur-an akan dicabut dari pundak-pundak kalian, dia akan diangkat pada malam hari, sehingga ia pergi dari kerongkongan orang-orang. Maka tidak ada yang tersisa darinya di bumi sedikit pun.” [13] Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Di akhir zaman (al-Qur-an) dihilangkan dari mushhaf dan dada-dada (ingatan manusia), maka tidak ada yang tersisa satu kata pun di dada-dada manusia, demikian pula tidak ada yang tersisa satu huruf pun dalam mushhaf.” [14] Lebih dahsyat lagi dari hal ini adalah Nama Allah tidak disebut lagi di atas bumi. Sebagaimana dijelaskan di dalam hadits Anas Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى لاَ يُقَالَ فِي اْلأَرْضِ: اللهُ، اللهُ. “Tidak akan datang hari Kiamat hingga di bumi tidak lagi disebut: Allah, Allah.” [15] Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ada dua pendapat tentang makna hadits ini: Pendapat pertama : Bahwa seseorang tidak mengingkari kemunkaran dan tidak melarang orang yang melakukan kemunkaran. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengibaratkannya dengan ungkapan “tidak lagi disebut: Allah, Allah” sebagaimana dijelaskan sebelumnya dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma : فَيَبْقَى فِيهَا عَجَاجَةٌ لاَ يَعْرِفُونَ مَعْرُوفًا وَلاَ يُنْكِرُونَ مُنْكَرًا. ‘Maka yang tersisa di dalamnya (bumi) hanyalah orang-orang bodoh yang tidak mengetahui kebenaran dan tidak mengingkari kemunkaran.’ [16] Pendapat kedua : Sehingga tidak lagi disebut dan dikenal Nama Allah di muka bumi. Hal itu terjadi ketika zaman telah rusak, rasa kemanusiaan telah hancur, dan banyaknya kekufuran, kefasikan juga kemaksiatan.” [17]

Rabu, 18 Mei 2016

*Puisi terakhir WS Rendra* *beliau buat sesaat sebelum beliau wafat* Hidup itu seperti *UAP*, yang sebentar saja kelihatan, lalu lenyap !! Ketika Orang memuji *MILIKKU*, aku berkata bahwa ini *HANYA TITIPAN* saja. Bahwa mobilku adalah titipan-NYA, Bahwa rumahku adalah titipan-NYA, Bahwa hartaku adalah titipan-NYA, Bahwa putra-putriku hanyalah titipan-NYA ... Tapi mengapa aku tidak pernah bertanya, *MENGAPA DIA* menitipkannya kepadaku? *UNTUK APA DIA* menitipkan semuanya kepadaku. Dan kalau bukan milikku, apa yang seharusnya aku lakukan untuk milik-NYA ini? Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-NYA? Malahan ketika diminta kembali, _kusebut itu_ *MUSIBAH,* _kusebut itu_ *UJIAN*, _kusebut itu_ *PETAKA*, _kusebut itu apa saja ..._ Untuk melukiskan, bahwa semua itu adalah *DERITA*.... Ketika aku berdo'a, kuminta titipan yang cocok dengan *KEBUTUHAN DUNIAWI*, _Aku ingin lebih banyak_ *HARTA*, _Aku ingin lebih banyak_ *MOBIL*, _Aku ingin lebih banyak_ *RUMAH*, _Aku ingin lebih banyak_ *POPULARITAS*, _Dan kutolak_ *SAKIT*, _Kutolak KEMISKINAN,_ Seolah semua *DERITA* adalah hukuman bagiku. Seolah *KEADILAN* dan *KASIH-NYA*, harus berjalan seperti penyelesaian matematika dan sesuai dengan kehendakku. Aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita itu menjauh dariku, Dan nikmat dunia seharusnya kerap menghampiriku ... Betapa curangnya aku, Kuperlakukan *DIA* seolah _Mitra Dagang_ ku dan bukan sebagai *Kekasih!* Kuminta *DIA* membalas _perlakuan baikku_ dan menolak keputusan-NYA yang tidak sesuai dengan keinginanku ... _Duh ALLAH ..._ Padahal setiap hari kuucapkan, _Hidup dan Matiku, Hanyalah untuk-MU ya ALLAH, AMPUNI AKU, YA ALLAH ..._ Mulai hari ini, ajari aku agar menjadi pribadi yang selalu bersyukur dalam setiap keadaan dan menjadi bijaksana, mau menuruti kehendakMU saja ya ALLAH ... Sebab aku yakin *ENGKAU* akan memberikan anugerah dalam hidupku ... *KEHENDAKMU* adalah yang ter *BAIK* bagiku .. Ketika aku ingin hidup *KAYA*, aku lupa, bahwa *HIDUP* itu sendiri adalah sebuah *KEKAYAAN*. Ketika aku berat utk *MEMBERI*, aku lupa, bahwa *SEMUA* yang aku miliki juga adalah *PEMBERIAN*. Ketika aku ingin jadi yang *TERKUAT*, aku lupa, bahwa dalam *KELEMAHAN*, Tuhan memberikan aku *KEKUATAN*. Ketika aku takut *Rugi*, Aku lupa, bahwa *HIDUPKU* adalah sebuah *KEBERUNTUNGAN*, kerana *AnugerahNYA.* Ternyata hidup ini sangat indah, ketika kita selalu *BERSYUKUR* kepadaNYA Bukan karena hari ini *INDAH* kita *BAHAGIA*. Tetapi karena kita *BAHAGIA*, maka hari ini menjadi *INDAH*. Bukan karena tak ada *RINTANGAN* kita menjadi *OPTIMIS*. Tetapi karena kita optimis, *RINTANGAN* akan menjadi tak terasa. Bukan karena *MUDAH* kita *YAKIN BISA*. Tetapi karena kita *YAKIN BISA*.! semuanya menjadi *MUDAH*. Bukan karena semua *BAIK* kita *TERSENYUM*. Tetapi karena kita *TERSENYUM*, maka semua menjadi *BAIK*, Tak ada hari yang *MENYULITKAN* kita, kecuali kita *SENDIRI* yang membuat *SULIT*. Bila kita tidak dapat menjadi jalan besar, cukuplah menjadi *JALAN SETAPAK* yang dapat dilalui orang. Bila kita tidak dapat menjadi matahari, cukuplah menjadi *LENTERA* yang dapat menerangi sekitar kita. Bila kita tidak dapat berbuat sesuatu untuk seseorang, maka *BERDOALAH* untuk kebaikan. *BERKAH DALEM* Semoga bermanfaat...

Selasa, 17 Mei 2016

Oh.... Oemar Bakri

Di era delapan puluhan, ada dua perasaan yang muncul saat melihat sosok para guru kita ketika kita masih duduk di bangku sekolah; yaitu perasaan kagum dan hormat. Kagum akan luasnya wawasan mereka dan hormat karena begitu berwibawanya mereka. Dan hingga detik ini perasaan itu tetap sama, tak berubah sedikitpun. Hati kita tetap tergetar ketika kenangan tentang mereka melintas di pikiran kita. Sungguh sangat menakjubkan manakala para pahlawan tanpa jasa itu bisa menorehkan perasaan begitu dalam di hati seseorang; bahkan setelah sekian puluh tahun telah berlalu. Entah mantra apa yang mereka miliki sehingga mereka bisa melakukannya. Terkadang terlintas dalam benak nan usil ini, bahwa para guru kita pada waktu itu mungkin pada pintar ilmu pelet ataupun ilmu pengasihan yang sangat ampuh sehingga mereka mampu memberikan pesona yang tak kunjung pudar bagi siswa-siswinya selama berpuluh-puluh tahun. Atau mungkin sebelum menjadi seorang guru, mereka pada bertapa di gua-gua untuk mempelajari ajian “Serat Jiwa” dari seorang pendekar yang bernama Eyang Astagina dan diturunkan pada Brama Kumbara sampai pada tingkat 10 (Ingat Serial Sandiwara Radio yang sangat populer di era 80-an), sehingga mereka sangat piawai dalam “meluluh-lantakkan” jiwa anak didiknya sedemikian rupa serta dengan segenap kesaktian yang dimilikinya mampu menorehkan nilai-nilai keluhuran dan prestasi kepada setiap anak-didiknya. Tapi apakah itu jawabannya ???? Ah, ternyata tidak demikian adanya...... Seperti kita ketahui bersama bahwa pada tahun 1981, seorang penyanyi yang bernama Virgiawan Listanto atau yang lebih dikenal dengan nama Iwan Fals menciptakan sebuah lagu yang berjudul “Guru Oemar Bakri”. Lagu ini begitu fenomenal karena berhasil menggambarkan potret guru saat itu, sederhana, tidak sejahtera, lugu namun mampu mencetak banyak generasi sekelas BJ Habibie dan secara tidak langsung menyindir ketidak -pedulian pemerintah yang sedang berkuasa saat itu dan masa-masa sebelumnya. Seperti kita ketahui bersama pula bahwa sebelum era 80-an ini, menjadi seorang guru merupakan sebuah profesi yang memprihatinkan, menyedihkan tidak menjanjikan serta harus siap hidup seadanya. Meskipun profesi guru begitu mulia , namun ia bagaikan surga yang tak dirindukan dan hanya dipandang sebelah mata. Berbanding terbalik dengan profesi-profesi lainnya; misalnya profesi dokter yang membuat orang berlomba-lomba dan bersedia untuk membayar berapapun untuk bisa kuliah di jurusan kedokteran. Seseorang yang pada saat itu bersekolah di lembaga keguruan (SPG /PGA) ataupun kuliah di Fakultas Keguruan, hampir bisa dipastikan dari awal mereka telah memiliki kesadaran bahwa menjadi seorang guru adalah sebuah panggilan nurani, sehingga ketika mereka benar-benar menjadi seorang guru, mereka menjalani profesi tersebut dengan penuh keikhlasan dan tanpa pamrih. Walhasil, pada akhirnya pengabdian dan kerja keras serta ketulusan mereka benar-benar terpatri di hati anak-didik mereka. Keikhlasan dan ketulusan inilah yang menjadi kunci utama keberhasilan para Pahlawan tanpa Tanda Jasa dalam mengukir prestasi serta menanamkan nilai-nilai moral dan budi pekerti kepada setiap murid-muridnya. Seiring dengan berjalannya waktu, profesi guru akhirnya tidak lagi dipandang sebelah mata. Profesi ini mulai dianggap menjanjikan dan mulai banyak yang mengincarnya. Profesi yang dianggap ideal bagi kaum perempuan karena kegiatan belajar hanya sampai tengah hari dan setelah itu bisa kembali berkumpul dengan keluarga. Profesi yang sempurna. Secara perlahan namun pasti, profesi ini menjadi harapan dan keinginan banyak orang serta sekaligus menjadi “Surga” yang mulai dirindukan. Dalam perkembangan berikutnya, pada saat profesi “Oemar Bakri” ini mulai menjadi surga yang dirndukan oleh banyak orang; pada saat yang sama, saat ini menjadi guru bagai kembali ke periode sebelumnya dimana ia menjadi surga yang tak dirindukan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal; diantaranya : Pertama Keberadaan pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Anak yang berbunyi “Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera”. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan UU tersebut maupun bunyi pasal 3, niat dan tujuannya baik yaitu untuk melindungi setiap anak Indonesia. Namun mungkin penafsirannya yang terlalu luas yang membuat guru menjadi serba salah dan serba terbatas dalam mengkoreksi kesalahan siswa yang dianggap sudah melebihi bata kewajaran. Guru sekarang harus sangat berhati hati dalam menghadapi siswa karena sedikit saja menyentuh tubuh siswa bisa dianggap melanggar pasal 3 ini. Padahal guru juga manusia biasa yang memiliki kelemahan dalam menjaga emosinya yang terkadang reflex menyentil atau mencubit siswa, dengan niat tidak untuk menyakiti, dan hal ini bisa berujung pada pelaporan kekerasan. Hal ini membuat guru kadang menjadi acuh bahkan bersikap masa bodoh dengan sikap siswa yang bermasalah karena untuk menghindari terpancingnya emosi yang berimbas pada masalah yang lebih besar. Akibatnya, siswa merasa benar sendiri karena sikapnya tidak dikoreksi oleh guru mereka. Mereka tahu betul bahwa hak mereka dilindungi oleh UU perlindungan anak. Kondisi ini menjadi lebih parah lagi manakala orang tua mereka ataupun pihak-pihak lain memanfaatkan UU ini untuk membela dan memanjakan anak-anak mereka. Mereka sama sekali tak mau tahu bahwa dalam UU yang sama pada pasal 19 juga disebutkan bahwa setiap anak juga memiliki kewajiban untuk menhormati orang tua, wali dan guru. Seharusnya mereka juga menyadari bahwa selain hak mereka yang dilindungi ,mereka juga memiliki kewajiban untuk menghormati guru. Seandainya mereka mengetahui dan mengamalkannya niscaya akan terjalin hubungan yang baik antara guru dan murid. Namun pada prakteknya, mereka hanya mengedepankan hak mereka dan lupa bahwa guru di mata agama dan hukum memiliki posisi setara dengan orang tua mereka. Kedua, Guru zaman sekarang adalah guru yang menghadapi generasi manja. Generasi yang dibesarkan oleh teknologi canggih dimana segala sesuatunya bisa didapatkan secara instant dan mudah, sehingga mereka kurang memahami makna perjuangan dan kesabaran. No pain no gain. Generasi yang dapat mengakses informasi seluas-luasnya; bahkan informasi yang belum tentu sesuai untuk usia mereka. Generasi yang memiliki banyak distraksi yang membuat mereka sulit untuk berkonsentrasi pada pelajaran. Eksistensi dan penampilan menjadi begitu penting dan utama bagi mereka. Update status di media sosial menjadi ritual harian mereka. Bayangkan berapa kali mereka harus mengupdate status mereka dalam kesehariannya. Lalu kapan mereka bisa fokus pada pelajaran ? Walaupun tentu saja pasti ada manfaat yang bisa didapatkan melalui teknologi informasi ini, namun apabila orang tua tidak mau ikut bagian dalam kontrol dan pengawasan, sudah barang tentu lebih banyak menimbulkan kerugian. Belum lagi kalau ditambah dengan berbagai program tayangan televisi yang hanya mementingkan sisi komersil tanpa mempedulikan nasib generasi bangsa. Dengan kata lain, mendidik generasi sekarang jauh lebih kompleks dan menghadapi tantangan yang lebih berat bila dibandingkan dengan para guru yang mendidik generasi sebelumnya. Begitu kompleksnya permasalahan diluar sana yang membuat siswa menjadi pribadi yang lebih rumit dan sulit untuk dihadapi harus disikapi dengan bijak dan hati hati. Guru harus mampu menjadi sumber pengetahuan sekaligus menjadi teman siswa yang bisa memahami kehidupan mereka. Hal ini tidak mudah karena seringkali disaat kita ingin mencoba menjadi teman mereka, mereka cenderung lupa batasan apa yang boleh dilakukan dan tidak. Guru lah yang harus selalu mengingatkan, akrab tapi tetap santun. Guru juga harus berusaha menjadikan sekolah sebagai rumah kedua siswa yang nyaman dan menciptakan proses pembelajaran menjadi menyenangkan dan dirindukan oleh siswa adalah sebuah tantangan tersendiri. Meskipun fakta yang ada sudah sedemikian kompleksnya, akan tetapi optimisme dan harapan itu haruslah selalu ada. Apa yang sedang dilakukan dan perjuangkan oleh para guru pada saat sekarang ini memang tidak langsung nampak hasilnya. Saat ini para pendidik kita sedang melukis wajah pendidikan Indonesia yang baru akan terlihat 10 atau 20 tahun mendatang. Mengutip kata-kata bijak yang berbunyi : “Kalau bukan karena guruku, niscaya aku tak akan kenal dengan tuhanku" ”Saat melihat muridmu menjengkelkan dan melelahkan, maka hadirkanlah gambaran bahwa satu diantara mereka kelak akan menarik tanganmu menuju surga”. Maka, tetaplah semangat dan tulus ikhlas dalam mendidik wahai Bapak dan Ibu Guru. Meskipun tantangan sekarang ini semakin berat, namun yakinlah bahwa semakin banyak upaya yang Anda perjuangkan dalam mempersiapkan generasi emas di masa yang akan datang, akan semakin bertambah peluang Anda untuk menuju ke surga. Sampai kapanpun menjadi seorang guru merupakan profesi yang akan menghantarkan kita ke surga yang selalu dirindukan. Semoga ............

Kebohongan Seorang Ibu

Seorang ibu dlm hidupnya banyak berbuat kebohongan : 1. Ketika mau makan, jika makanan kurang, Ia akan memberikan makanan itu kpd anaknya dan berkata, makan lah ibu tdk lapar 2. Saat makan, Ia selalu menyisihkan ikan/daging untuk anaknya dan berkata, ibu tdk suka ikan/daging, makanlah nak 3. Tengah mlm saat dia sdg menjaga anaknya yg sakit, Ia berkata,Istirahatlah nak, ibu blm ngantuk 4. Saat anak sudah bekerja, mengirimkan uang untuk ibu. Ia berkata, Simpanlah untuk keperluanmu nak, ibu masih punya uang. 5. Saat anak sdh sukses, menjemput ibunya utk tinggal di rumah besar, Ia lantas berkata, Rumah tua kita sangat nyaman, ibu tidak terbiasa tggl di sana. 6.Saat menjelang tua, ibu sakit keras, anaknya menangis, ttp ibu msh bs tersenyum sambil berkata, Jangan menangis nak, ibu tidak apa apa.Ini adalah kebohongan terakhir yg dibuat ibu. Tidak peduli seberapa kaya kita, seberapa dewasanya kita, ibu slalu menganggap kita anak kecilnya, mengkhawatirkan diri kita tp tdk prnh membiarkan kita mengkhawatirkan dirinya. Smoga smua anak di dunia ini bs menghargai setiap kebohongan seorang ibu...karena Beliaulah malaikat nyata yg dikirim TUHAN untuk menjaga kita Berbahagialah orang2 yang masih memiliki ibu dan bahagiakanlah ibu selagi masih ada.

Minggu, 15 Mei 2016

"CARA KH ABDULLAH UBAID MENDIDIK ANAK"

"CARA KH ABDULLAH UBAID MENDIDIK ANAK" Bismillaahir Rohmaanir Rohiim, Sobat PAIMA, KH Abdul Wahid Hasyim, dalam sebuah artikelnya, Abdullah Ubaid sebagai Pendidik pernah menceritakan, pada suatu hari datanglah bertamu salah seorang sahabatnya bernama KH Abdullah Ubaid dengan membawa seorang putranya berusia kira-kira 3 atau 4 tahun. Dihidangkanlah minuman teh 3 cangkir, satu untuk Kyai Ubaid, satu untuk putranya dan satu lagi untuk tuan rumah. Terjadilah pembicaraan antara Kyai Ubaid dan anaknya. Sang anak meminta agar ayahnya mengambilkan minuman. Dijawab, agar ia mengambil sendiri karena minuman berada di dekatnya. Sang anak tetap meminta ayahnya yang mengambilkan karena takut kalau-kalau cangkir terjatuh lalu pecah. Kyai Ubaid, salah satu perintis berdirinya Gerakan Pemuda Ansor itu tetap menyuruhnya mengambil sendiri sambil membesarkan hatinya, bahwa kalau memegangnya hati-hati Insya Allah tidak akan jatuh. Sang anak masih menawar lagi agar diambilkan ayahnya karena tehnya panas. Kyai Ubaid menenangkan hatinya agar bersabar beberapa saat karena teh akan dingin dengan sendirinya. Selama pembicaraan antara Kyai Ubaid dengan puteranya, Kyai Wahid hanya berdiam diri, tidak ikut campur tangan. Baca juga : KH Sahal Mahfudh Kyai Wahid dan tamunya saling melepaskan senyumnya setelah dilihat bahwa akhirnya sang anak bisa minum sendiri tanpa bantuan orang lain. Kedua-duanya puas dengan hasil pendidikan kilat ini, dan tak kurang-kurang puasnya adalah sang anak sendiri yang ternyata dengan amat mudahnya bisa menghilangkan rasa hausnya dengan kemampuan sendiri. Dari sekelumit peristiwa sederhana ini Kyai Wahid, dalam artikel yang termuat dalam Sejarah Hidup KHA Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar tersebut menilai Kyai Ubaid sebagai sebuah contoh dari seorang ayah yang pandai mendidik puteranya. Sejak usia 3 atau 4 tahun puteranya sudah ditanamkan rasa percaya kepada diri sendiri dan mulai diajarkan tentang arti bersabar. Bersabar dalam arti tetap menjaga etiket seorang tamu yang kurang pantas menuangkan air teh di atas piring hanya karena ingin agar teh yang masih panas itu segera menjadi dingin. Baca juga : KH Saifuddin Zuhri KH Syaifuddin Zuhri, dalam Guruku Orang-Orang dari Pasantren, menilai bahwa melalui artikel tersebut Kyai Wahid bukan saja memandang Kyai Ubaid sebagai seorang pendidik tetapi sekaligus seorang pemimpin yang memberikan jalan keluar kepada puteranya dengan menyuruh sedikit bersabar, karena teh dengan sendirinya akan menjadi dingin dan mudah untuk di minum oleh anak-anak. Ruchman Basori, dalam The Founding Father Pasantren Modern Indonesia; Jejak Langkah KHA Wahid Hasyim, menilai dari cerita di atas dapat diambil intisari yang penting, yang dapat dijadikan prinsip-prinsip dalam pendidikan yaitu: 1. Percaya kepada diri sendiri atau prinsip kemandirian; 2. Kesabaran; 3. Pendidikan adalah proses, tidak serta merta; 4. Keberanian; 5. Prinsip tanggung jawab dalam menjalankan tugas. Baca juga : KH Muhammad Hasyim Asy'ari Lebih lanjut, juga masih dalam tulisan itu, Kyai Wahid menyampaikan hal-hal yang harus dilakukan oleh orang tua dalam mendidik anak-anaknya yaitu: 1. Sejak kecil hendaknya anak-anak dilatih dan dibiasakan bekerja dengan tenaga dan kemampuannya sendiri sehingga akan tumbuh kepercayaan diri. 2. Sejak kecil dibiasakan tidur sendiri dipisahkan dari orang tua. 3. Apabila si anak sudah agak besar perlu dibuatkan kamar, tempat pakaian yang terpisah dengan saudara-saudaranya yang lain untuk melatih tanggung jawab, sehingga diharapkan ketika besar nanti dapat mengurus rumah tangganya dengan baik. Demikian di antara metode mendidik anak sesuai dengan perkembangan jiwanya. Pendidikan yang baik bukan hanya bertumpu pada lembaga pendidikan, melainkan diawali dari pendidikan yang baik di dalam keluarga dengan orangtua sebagai pendidiknya.

Jumat, 13 Mei 2016

"BERSAHABAT DENGAN UJIAN"

"BERSAHABAT DENGAN UJIAN" Ada orang yang diuji dengan PASANGAN-nya, Ada orang yang diuji dengan BELUM DAPAT JODOH, Ada orang yang diuji dengan KESEHATAN-nya, Ada orang yang diuji dengan BELUM PUNYA MOMONGAN, Ada orang yang diuji dengan KARIR-nya, Ada orang yang diuji dengan PARAS-nya, Ada orang yang diuji dengan KESUKSESAN-nya, Ada orang yang diuji dengan KESULITAN REJEKI-nya, Ada orang yang diuji dengan SEGALA KEMUDAHAN, Ada orang yang diuji dengan KESEDIHAN AKIBAT KEKECEWAAN, Dan ada juga orang yang diuji dengan ANAK dan KETURUNANNYA. Jangan pikir hanya kita seorang yang diuji oleh-NYA. Jangan tanya kepada-NYA, "Ya Allah, mengapa harus aku ??? Mengapa semua terjadi padaku ???" Ketika Allah SwT memberi beban dipundak, jangan bertanya mengapa kita diberi yang berat. Tapi mintalah agar pundak kita mampu untuk memikulnya. Yakinlah akan ada KEMUDAHAN setelah KESULITAN. Allah SwT memberi kita Ujian ini karena Allah SwT mengetahui bahwa kita mampu. Tetaplah Istiqamah meski Iman kita kadang melemah ... Jangan pernah menghindar, Jangan pernah lari, Hadapi semua ini dengan Tawakkal, Nikmati semua ini dengan Istighfar, Mungkin ini kasih sayang Allah SwT dalam bentuk Nikmat yang lain, Insya Allah ... Aamiin Ya Robb

✨FENOMENA KEHIDUPAN☀✨

✨FENOMENAKEHIDUPAN☀✨ "Suatu keniscayaan dalam kehidupan yang membawa implikasi perubahan setelah masuknya Whats App, Facebook, Instagram BBM dan yang lainnya dalam kehidupan ? Hal ini merupakan "Ghazwul fikri" yang menyerang akal, namun sangat disayangkan kita telah tunduk padanya dan kita telah jauh dari norma Islam yang lurus dan dari dzikir kepada Allah. Kenapa hati kita mengeras? Itu karena seringnya kita melihat cuplikan video yang menakutkan, dan juga kejadian2 yang di share.. Hati kita kini mempunyai kebiasaan yang tak lagi takut pada sesuatupun. Oleh karena itulah, hati kita menjadi mengeras bagai batu. Kenapa kita terpecah belah dan kita putus tali kekerabatan ? Karena kini silaturrahmi kita hanya via Whats App saja, seakan kita bertemu mereka setiap hari. Padahal bukan begitu tata cara bersilaturrahim dalam agama Islam (Kita perlu datang secara phisik, mengucap salam, bersalaman, membawa oleh-oleh, saling ingat mengingatkan, nasehat menasehati, saling doa mendoakan, dll). Kenapa kita sangat sering mengghibah (ngrumpi), padahal kita tidak sedang duduk dengan seorangpun. Itu karena saat kita mendapatkan satu message yang berisi ghibah terhadap seseorang atau suatu kelompok, dan dengan cepat kita sebar ke grup-grup yang kita punya. Dengan begitu cepatnya kita mengghibah, sedang kita tidak sadar berapa banyak dosa yang kita dapatkan dari hal itu. Sangat disayangkan, kita telah menjadi pecandu... Kita makan, handphone ada ditangan kiri kita. Kita duduk bersama teman-teman, HP ada di genggaman. Berbicara dengan ayah dan ibu yang wajib kita hormati, akan tetapi handphone ada di tangan pula. Sedang mengemudi kendaraan, HP juga di tangan. Sampai-sampai anak-anak kita pun telah kehilangan kasih sayang dari kita, karena kita telah berpaling dari mereka dan lebih mementingkan handphone. "Aku tidak ingin mendengar seseorang yang memberi pembelaan pada teknologi ini. Karena sekarang, jika sesaat saja HP kita tertinggal betapa kita merasa sangat kehilangan... Ah, andai perasaan seperti itu ada juga pada shalat dan tilawatul (pembacaan) Qur'an kita..." Adakah dari kita yang mengingkari hal ini? Dan siapa yang tidak mendapatkan perubahan negatif dalam kehidupannya, setelah masuknya teknologi ini pada kehidupannya dan setelah menjadi pecandu? Demi Allah, siapakah yang akan menjadi teman kita nanti di kubur? Apakah HP? Mari kita sama-sama kembali kepada Allah, jangan sampai ada hal2 yang menyibukkan kita dari dien (agama) kita. Karenanya kita tidak tahu, berapa lamakah sisa umur kita". Allah berfirman: “Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit”. QS.Thoha: 124. Semoga handphone yang kita miliki adalah wasilah untuk kebaikan dan bukan wasilah dalam keburukan... Jangan disembunyikan nasihat ini, agar tidak menjadi seseorang yang menyembunyikan ilmu... _*Mari kita isi WA Ini dg hal hal yang bermakna!*_ 📚 Disarikan dari khutbah Jum'at di Masjidil haram.

Kamis, 12 Mei 2016

💥SYAFA'AT AL QUR'AN DI DALAM KUBUR💥

💥SYAFA'AT AL QUR'AN DI DALAM KUBUR💥 ✨ Peprtolongan Al-Quran di Alam Kubur.
Dari Sa’id bin Sulaim ra, Rasulullah SAW bersabda: “Tiada penolong yg lebih utama derajatnya di sisi Allah pada hari Kiamat daripada Al-Qur’an. Bukan nabi, bukan malaikat dan bukan pula yang lainnya.” (Abdul Malik bin Habib-Syarah Ihya). Bazzar meriwayatkan dalam kitab La’aali Masnunah bahwa jika seseorang meninggal dunia, ketika orang - orang sibuk dgn kain kafan dan persiapan pengebumian di rumahnya, tiba -tiba seseorang yang sangat tampan berdiri di kepala mayat. Ketika kain kafan mulai dipakaikan, dia berada di antara dada dan kain kafan. Setelah dikuburkan dan orang - orang mulai meninggalkannya, datanglah 2 malaikat. Yaitu Malaikat Munkar dan Nakir yang berusaha memisahkan orang tampan itu dari mayat agar memudahkan tanya jawab. Tetapi si tampan itu berkata: ”Ia adalah sahabat karibku. Dalam keadaan bagaimanapun aku tidak akan meninggalkannya. Jika kalian ditugaskan utk bertanya kepadanya, lakukanlah pekerjaan kalian. Aku tidak akan berpisah dari orang ini sehingga ia dimasukkan ke dalam syurga.” Lalu ia berpaling kepada sahabatnya dan berkata,”Aku adalah Al quran yang terkadang kamu baca dengan suara keras dan terkadang dengan suara perlahan. Jangan khawatir setelah menghadapi pertanyaan Munkar dan Nakir ini, engkau tidak akan mengalami kesulitan.” Setelah para malaikat itu selesai memberi pertanyaan, ia menghamparkan tempat tidur dan permadani sutera yang penuh dengan kasturi dari Mala’il A’la. Allahu Akbar, selalu saja ada getaran haru selepas membaca hadits ini. Getaran penuh pengharapan sekaligus kekhawatiran. Getaran harap karena tentu saja mengharapkan Al-Quran yang kita baca dapat menjadi pembela kita di hari yang tidak ada pembela. Sekaligus getaran takut, kalau-kalau Al-Quran akan menuntut kita. Allah…terimalah bacaan Al-Quran kami. Sempurnakanlah kekurangannya. Banyak riwayat yang menerangkan bahwa Al-Quran adalah pemberi syafa’at yang pasti dikabulkan Allah SWT. Aamiin..

Kisah Inspiratif



Andai
bisa bicara
Bayi : “ Aku ingin tetap didalam rahim Ibu saja”
Dokter: “ Tidak bisa, kamu harus keluar dari rahim Ibu sukarela maupun terpaksa, alam dunia milyaran kali lebih luas dari alam rahim Ibu.
Engkau akan lihat keindahan alam dunia yang tak pernah engkau lihat sebelumnya , tak pernah engkau dengar sebelumnya”
Bayi : “ Aku tidak percaya, aku tidak melihat apa apa , aku tidak mendengar apa apa.
Aku sudah puas dengan kesenangan alam rahim Ibu, bagiku yang penting tali pusat dialah segalanya bagiku.
Aku tak butuh tangan, aku tak butuh kaki, tak guna mata, tak guna telinga, tak guna mulut.
Tali pusat adalah segalanya bagiku”
Dokter : “Ketika kamu lahir, segera yang akan dipotong pertama kali justru tali pusat.
Tangan , kaki, mata, telinga, mulut mutlaq dibutuhkan untuk kehidupan kamu di dunia”
Maka ketika sang Ibu melahirkan bayinya, benarlah , tali pusat yang selama ini diyakini memberi kesenangan dan kepuasan bagi sang bayi seketika itu juga dipotong.
Meledaklah tangisan sang bayi.
Alhamdulillaah sang bayi lahir dengan sempurna memiliki tangan , kaki, mata , telinga , mulut dan organ organ lain yang sempurna. Maka semuanya berbahagia
Demikianlah gambaran kehidupan dunia, orang orang yang tidak percaya akan alam akhirat yang luasnya milyaran kali alam dunia.
Keni’matan syurga yang tak pernah mata melihatnya, tak pernah telinga mendengarnya.
Baginya yang penting adalah ni’mat dunia, itulah segalanya .
Buat apa sholat, buat apa puasa, tak ada manfaatnya zakat ataupun haji dan ibadah ibadah lainnya.
Ketika ia keluar dari “Rahim” Dunia dengan terpaksa atau sukarela maka ni’mat dunia lah pertama kali yang dipotong.
Tak bisa dibayangkan tangisannya saat memasuki alam kubur lebih dahsyat dari tangisan sang bayi saat ketika lahir ke dunia.
Tak mungkin bisa kembali ke alam dunia sebagaimana sang bayi mustahil akan masuk ke perut Ibu lagi.
Ya Allah sempurnakanlah Iman dan Amal kami sebagaimana engkau telah menyempurnakan Iman dan Amal kekasih kekasih Mu
Ampunilah segala dosa dosa kami baik yang kami sengaja maupun yang tak kami sengaja
Janganlah engkau bebani kami dengan beban yang kami tak sanggup memikulnya.
Aamiin ya Rabbal ‘aalamiin.

Rabu, 11 Mei 2016

💥DAHSYATNYA SURAT IKHLASH💥☀


💥DAHSYATNYA SURAT IKHLASH💥
Kisah Pengamal Surat Ikhlash
Pada suatu pagi, Rasulullah SAW bersama dengan sahabatnya Anas bin Malik ra melihat suatu keanehan di pagi itu. Bagaimana tidak, matahari terlihat begitu redup dan kurang bercahaya seperti biasanya.
Tak lama kemudian, Rasulullah SAW dihampiri oleh malaikat Jibril.
Rasulullah SAW bertanya kepada malaikat Jibril,
"Wahai Jibril, kenapa matahari pagi ini terbit dalam keadaan redup? Padahal tidak mendung?"
"Ya Rasulullah, matahari ini nampak redup karena terlalu banyak sayap para malaikat yang menghalanginya," jawab Jibril.
Rasulullah SAW bertanya,
"Wahai Jibril, berapa jumlah malaikat yang menghalangi matahari saat ini?"
"Ya Rasulullah, 70 ribu malaikat," jawab Jibril.
Rasulullah SAW bertanya,
"Apa gerangan yang menjadikan malaikat menutupi matahari?"
Kemudian Malaikat Jibril menjawab,
"Ketahuilah wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah SWT telah mengutus 70 ribu malaikat agar membacakan shalawat kepada salah satu umatmu."
"Siapakah dia, wahai Jibril?" tanya Rasul SAW.
"Dialah Muawiyah."
Rasulullah SAW bertanya,
"Apa yang telah dilakukan oleh Muawiyah sehingga saat ia meninggal mendapatkan kemuliaan yang sangat luar biasa ini?"
Malaikat Jibril menjawab,
"Ketahuilah wahai Rasulullah, sesungguhnya Muawiyah itu semasa hidupnya banyak membaca Surat Al Ikhlas di waktu malam, siang, pagi, waktu duduk, waktu berjalan, waktu berdiri, bahkan dalam setiap keadaan selalu membaca Surat Al Ikhlas."
Malaikat Jibril melanjutkan penuturannya,
"Dari itulah Allah SWT mengutus sebanyak 70 ribu malaikat untuk membacakan shalawat kepada umatmu yang bernama Muawiyah tersebut."
.
Ya Allah jadikanlah kami termasuk orang-orang penghuni SyurgaMu dan haramkanlah api neraka atas jasadku, kedua orangtuaku, dan semua yg mengucap Aamiin di masukkan ke Jannatulma'wa.
✏___ 📚💫🔆💥🔆

Minggu, 08 Mei 2016

Mbah Manaf, Kiai 65 Tahun yang Mahir Corel Draw Untuk maknai Kitab Kuning

 Wartaislami.Com ~ Sudah sejak 2005, Mbah Abdul Manaf bin Zuhdi (65), yang kini tinggal di Desa Margoyoso Rt. 07 Rw. 03, Kalinyamatan, Jepara, tiap hari selalu di depan laptop memaknai kitab kuning menggunakan Corel Draw, satu-satunya sistem perangkat lunak yang mudah digunakan olehnya untuk menulis arab pegon miring. Dia membereskan baris demi baris kitab kuning agar mudah dipahami para santri dan dai.

Selama 11 tahun menulis itu, kini Mbah Manaf berhasil ngasahi (memaknai gandul arab pegon miring) 5 judul karya ulama klasik hingga berjilid-jilid. Semua kitab yang digarap bertema tentang kewalian, hikmah dan sufisme thariqah. Berikut judulnya:

1.    Jamiul Ushul fil Auliya karya Syeikh Muhammad Zliyauddin Musthafa al al-Kamsyakhanawi an-Naqsyabandi. Kitab aslinya ada 380 halaman, namun setelah digunduli Mbah Munif jadi 4 jilid. 
2.    Karomatul Auliya karya Syeikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani (Lahir 1256 H). Jumlah halaman: 383. Jadi 3 jilid setelah dicorel Mbah Manaf.
3.    Kitab Kasfudz Dzunnun karangan Haji Kholifah. Halaman aslinya berjumlah ribuan. Baru rampung jadi 2 jilid.
4.    Jawahirul Khomsah karya Syeikh al-Imam al-Allamah al-Hamam Sayyid Muhammad bin Khotiruddin bin Bayazid bin Khowajah. Jadi 2 jilid.
5.    Jauhar Ma’aani, manaqib Syeikh Abdul Qadir Jailani karya Syeikh Jauhari Umar Pasuruan.
6.    Risalah al-Ghazali (dalam proses garap)

Jumlah halamannya bisa berjilid-jilid karena untuk membuat makna gandul pegon, harus ada spasi lumayan lebar. Satu halaman dibuat Mbah Manaf jadi 9 baris. Padahal, aslinya, -sebagaimana pada Jami’ul Ushul fil Auliya,- per halaman terdiri atas 28 baris. Dari satu halaman kitab asli, jadi 3 halaman setelah dimaknai utawi iki iku.

Memilih Versi Corel
Tentu banyak jalan terjal harus ditempuh. Ketika menggarap Kasyfudz Dnunnun misalnya, ada kendala teknis yang membuat stres. Lafadz Allah, kata Mbah Manaf, hilang huruf “Ha”-nya ketika di-print. Padahal hasil ketikan dalam file Corel, mulai Alif, Lam hingga Ha’, utuh semua hurufnya. Penggarapan berhenti hanya 2 jilid karena hal ini.

“Masalahnya ternyata karena saya pakai Corel Draw 14 dengan sistem operasi Windows Seven. Font Traditional Arabic tidak bisa dipakai di sana. Padahal, font lain seperti Arial, Transparent bisa saya pakai. Saya memilih Traditional Arabic karena nyaman dibaca,” tutur Mbah Manaf di rumahnya, Selasa (3 Mei 2016), malam.

Atas pengalaman tersebut, Mbah Manaf menginstal Windows XP untuk menggarap kitabnya. Corelnya tetap pakai versi 14. Cepat loading katanya. Pernah mencoba pakai Corel 17 tapi berat. Windows XP dipilih karena menurutnya lebih bersahabat dengan font arab.

“Misalnya ketika menulis huruf wawu yang digandeng dengan mim atau lainnya. Di Windows Seven terlihat terlalu rapat. Kalau di XP bisa tampak jelas dan kayak ada spasinya gitu, kelihatan bagus jadinya,” terang Mbah Manaf kepada Duta Islam.

Ada dua laptop yang dipakai. Yang terinstal Seven buat berselancar di dunia maya dan berkomunikasi via Facebook. Sementara yang instalan XP khusus untuk menggarap makna gandul kitab kuning.

“Pertama kali dulu saya pakai Corel 9, 10, 11 dan 12. Ternyata semuanya tidak bisa menulis angka Arab. Setelah ganti menggunakan corel 14 dengan windows XP, ternyata bisa dan sangat mudah,” paparnya.

Dalam pemaknaan kitab kuning itu, Mbah Manaf mengawalinya dengan melakukan scan halaman per halaman. Hasilnya di-print untuk kemudian di-harakat-i huruf per hurufnya secara manual. Tindakan ini dipilih untuk mempercepat kerja. Kekeliruan harakat akan dikoreksi lebih lanjut di Corel Draw menggunakan tool bernama Photo Paint, yakni aplikasi buatan Corel yang bisa digunakan untuk pengeditan gambar dan efek foto.

Kendalanya, ada kitab yang sulit discan karena lipatan jilidnya terlalu sempit. Kitab Kasyfudz Dzunnun salah satu contohnya. Bila teks kitab lain tidak berkolom, khusus kitab ini, kata Mbah Manaf, kolomnya ada dua. Scan tidak efektif mencover seluruh teks halaman. “Terpaksa harus pakai versi digital download, lalu diatur pakai Corel. Saya nggarap gandul ya pakai corel. Word tidak bisa dipakai,” ujarnya.   



 Berawal Dari Waktu Luang
Niat Mbah Abdul Manaf memaknai kitab kuning secara digital diawali dari musibah yang menimpa istrinya, Sri Wahyuni. Kala itu, dia harus menunggu istri yang sakit berbulan-bulan tanpa bisa bekerja. Jenuh, akhirnya ia memanfaatkan waktu untuk ngasahi kitabnya secara manual. Ia simpan hasil asahan itu, siapa tahu berguna.

Pertama yang diasahi gandul arab menggunakan tulisan tangan adalah Kitab Jamiul Ushul fil Auliya.. Karena banyak yang tertarik hasil kerja Mbah Manaf itu, ada yang mengusulkan untuk membuat rutinan tiap malam Senin di salah satu rumah warga setempat.

Selama enam tahun rutinan berjalan, Mbah Manaf rajin membagi-bagikan hasil asahan tersebut. Kali ini sudah bukan tulisan tangan. Tapi sudah dalam bentuk cetakan hasil  Corel, printer-an yang sudah difoto-copy sesuai jumlah peserta ngaji rutinan.

Mbah Manaf belajar mengoperasikan corel secara otodidak. Ia mengaku tidak pernah kursus dan belajar sebisanya. Itu dimulai ketika jadi guru dan mengajar di Pondok Pesantren Nailun Najah, Kriyan, Kalinyamatan, Jepara atas perintah gurunya, Mbah Hudun . “Awalnya saya minta diajari bagaimana menghidupkan komputer dan mematikannya,” kenangnya.

Melihat ketekunan Mbah Manaf, ada seorang teman yang kemudian memberinya fasilitas komputer pentium dua secara gratis. Itulah alat pertama yang digunakan untuk melanjutkan kerja kreatifnya memaknai kitab kuning.

Sejak saat itu, ia tidak lagi bekerja jualan jamu godok racikannya sendiri. Dulu, setelah lulus dari ponpes, Mbah Manaf memilih ber-dawa’ (menyembuhkan penyakit dengan obat herbal). Pekerjaannya itu terbilang sukses karena punya banyak pelanggan hingga Sumatra, Banten dan kota-kota lain. Selama jualan jamu, Mbah Manaf rajin merantau.

Jamunya laris. Dalil yang selalu digunakan untuk menarik perhatian pembeli adalah: addawa’u larruju’u ilas syabab. “Lam adalah lam ibtida’, maka harus dibaca rafa’ sesudahnya. Artinya begini utawi obat, iku yekti iso balikake, ilas syabab, maring nom,” tandas Mbah Manaf menerangkan dengan gaya utawi iki iku.

Praktis, banyak kiai dan habaib yang menjadi pelanggan setianya. Terutama dari kalangan dewasa dan orang tua. Mengobati orang sakit, bagi Mbah Manaf, sama pahalanya dengan mengajar atau berdakwah. Dia memilih dawa’ daripada dakwah atas alasan ini.

Demi kitab kuning, Mbah Manaf yang pernah nyantri di Madrasah Ghazaliyah Syafiiyyah (MGS) di PP MUS Sarang Rembang periode 1970-1976 ini,  meninggalkan profesinya sebagai penjual jamu godok. Sesekali mengisi pengajian dan jadi guru panggilan khusus belajar kitab kuning, terutama ilmu alat semacam Nahwu dan Sharaf.

Selama bertahun-tahun, Mbah Manaf menjadi guru privat para putra H Mawar, tetangga desa. Semua anak pengusaha itu diwulang ngaji oleh Mbah Nawar hingga khatam Kitab Nahwu bernama Alfiyah empat kali, lanjut ke syarahnya berjudul Ibnu Aqil, Bahjatul Mardliyyah sekaligus syawahid-nya. “Alhamdulilah khatam semua,” kata Mbah Manaf.

Hidup Sederhana
Bersama istrinya, kini Mbah Manaf hidup berdua apa adanya dengan tetap melanjutkan kerja kreatif di depan laptop memaknai kitab kuning. Ada 3 laptop yang ada di ruang tamu, tempat kerjanya yang berukuran kecil. Ketiga laptop tersebut bukan milik pribadinya, melainkan pinjaman dari orang-orang yang peduli.

Mbah Manaf tidak punya cukup uang membeli laptop. “Laptop saya gonta-ganti terus. Tidak pernah beli, silih-silihan (pinjaman, red). Jadi ketika pemilik datang mengambil, saya harus menyerahkan. Pernah pakai laptop anak Kudus malah saya jebolkan IC nya. Pernah dipinjamin pegawai bank asal Pati juga, tapi akhirnya rusak,” akunya.

Laptop saja meminjam, jelas Corel yang dipakai pun tanpa lisensi. Tapi Mbah Manaf tidak menyerah. Hidup serba kekurangan baginya harus tetap bermanfaat. Saking seringnya laptop pinjaman itu rusak, acap kali mendapatkan free biaya servis di beberapa tempat.

“Tukang servis laptop di sini hampir pernah saya datangi semua. Banyak yang kenal. Sering tidak bayar karena kasihan mungkin. Saya kan sudah tua,” terang Mbah Manaf yang ingin belajar Google Map agar tamunya mudah menemukan alamat.

Soal berapa banyak laptop, tinta dan printer yang dihabiskan selama 11 tahun ini, sudah tak terhitung. Dalam 8 bulan saja, pernah 4 kali ganti Cartridge (alat cetak) Printer. Itu belum tumpukan kertas HVS ukuran 80 yang selalu dia beli kalau ada uang. Ketika Duta Islam datang, keyboard laptop di meja kerjanya tidak berfungsi sehingga harus menggunakan keyboard eksternal berwarna hijau. Kumuh dan hampir rusak.

Tidak banyak yang sanggup menservis laptop yang digunakan Mbah Manaf. Hanya beberapa saja yang mampu menyelesaikan problemnya mengingat serba arab. Mbah Manaf jarang mengetik huruf selain arab. Tiga laptop yang ditunjukkan kepada Duta Islam semua keyboard asalnya bertulis arab. Sepertinya, Mbah Manaf memang tipe santri tulen tempoe doeloe yang tiap hari menulis menggunakan arab pegon.



 Instalan Corel, Windows, Printer dan scanning hingga modem merek Alcatel, semua menggunakan bahasa operasional serba arab. Naskahnya disimpan dalam Harddisk Eksternal berkapasitas 500 giga. “Saya menggunakan Corel hanya untuk maknani kitab kuning. Tidak pernah menggunakannya untuk design banner dan lainnya,” tandas Mbah Manaf.

Naskah yang sudah diprint kertas, ia simpan di rak lemari ruang tamu bersama dua kamus berukuran jumbo yang biasa digunakan. Jika sewaktu-waktu ada yang ingin membeli, tinggal difoto-copy dengan warna kuning berukuran 80. Sudah laku puluhan jilid. Yang membeli para ustad dan dai sekitar Jepara. Berkat karyanya, Mbah Manaf pernah diundang Muktamar Thariqoh di Malang.

Jika Anda ingin membeli, harganya lumayan. Itu karena belum dicetak massal. Perjilid harganya Rp. 400.000,-. Anda harus menyiapkan Rp. 4.400.000,- untuk memesan lengkap 11 jilid. Pakai uang muka dulu agar Mbah Manaf bisa ke Kudus untuk memfoto-copy. Nomor hapenya ada di bawah ini. [www.dutaislam.com/m abdullah badri]

------------------------------------
Biografi Singkat Mbah Manaf:
Nama Lengkap          : Abdul Manaf bin Zuhdi
Tempat Lahir             : Kawedanan, Pamotan, Rembang, Jawa Tengah
TTL                            : 16 Mei 1953
Nama Istri                  : Sri Wahyuni
Anak                           : Rahmatullah (meninggal saat lahir tahun 1993), Hamdan (anak  angkat)
Alamat                        : Margoyoso Rt. 07 Rw. 03, Kalinyamatan Jepara (sejak 2000)
Pendidikan                  : Madrasah Ghazaliyah Syafiiyyah (MGS) Sarang (1970-1976),   Ponpes Manbaul Khoiriyah Islamiyah (MHI), Bangsalsari, Jember, Jawa Timur.
Nomor Hape              : 085327678159
Facebook                    : Abdul Manaf

BULAN SYA'BAN TELAH TIBA

💥🌙 SYA'BAN TELAH TIBA 🌙💥
Tepat maghrib malam ini, telah datang bulan Sya'ban Rasullullah Bersabda "Barang Siapa Yang Memberitahukan Berita bulan Sya'ban kepada Yang Lain, maka Haram Api Neraka Baginya". Dan tolong baca sebentar saja kita berdzikir mengingat اَللّهُ ... bismillah "Subhanallah, Walhamdulillah, Walaa ilaaha ilallah, Allahu-Akbar, Laa haula wala quwata illa billahil aliyil adzim” Bila disebarkan, Anda akan membuat beribu-ribu manusia berzikir kepada Allah SWT آمِّيْنَ آمِّيْنَ آمِّيْنَ يَا رَبَّ
الْعَالَمِينَ


Selasa, 03 Mei 2016

Jaga Kesehatan, Van Damme Tiru Gaya Hidup Rasulullah SAW

Jaga Kesehatan, Van Damme Tiru Gaya Hidup Rasulullah SAW


REPUBLIKA.CO.ID, Jean-Claude Van Damme merupakan aktor asal Belgia yang terkenal dengan aksi-aksi laganya. Dengan tubuh yang sangat prima di usia 55 tahun, Van Damme ternyata memiliki cara yang tak diduga dalam menjaga kebugaran tubuhnya. Van Damme mengaku mengikuti kebiasaan hidup dari Nabi Muhammad SAW.
Dalam sebuah sesi wawancara, Van Damme ditanya mengenai pola makan yang sehat. Van Damme kemudian menjawab bahwa ia mengikuti pola makan seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW dalam ajaran Islam. "Bacalah. Temuan-temuan dari Muslim, banyak hal baik (di situ). Nabi Muhammad sangat cerdas," ungkap Van Damme mengawali penjelasannya.
Van Damme menilai Nabi Muhammad SAW sebagai sosok yang cerdas karena beliau dapat mengetahui apa yang baik dan tidak baik bagi tubuh di masa depan. Seperti yang telah diketahui, Rasulullah telah mencontohkan gaya hidup yang menghindari makanan atau minuman yang memiliki dampak tidak baik bagi kesehatan tubuh. Salah satu yang dicontohkan ialah alkohol.
"Beliau (Nabi Muhammad) mengetahui apa yang baik untuk masa depan, mengenai tubuh," tambah Van Damme.
Tak hanya sekadar mengikuti gaya hidup ala Rasullullah, Van Damme pun mengajak agar orang-orang untuk membuktikan sendiri manfaat baik dari meniru gaya hidup Rasulullah juga. Bagi Van Damme, semua yang dibutuhkan untuk menjaga kebugaran tubuh telah ada dalam ajaran mengenai pola makan sehat yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad.
"Percayalah pada saya, kamu mendapatkan semua yang kamu butuhkan di situ," pesan Van Damme. 

Senin, 02 Mei 2016

Demam Ibadah Individual, Lupa Ibadah Sosial

Demam Ibadah Individual, Lupa Ibadah Sosial

Salah satu warisan almarhum Prof. Dr. KH. Ali Musthafa Ya’qub adalah pemikirannya yang cemerlang. Ia mengingatkan bahwa ibadah sosial jauh lebih penting daripada ibadah individual. Berikut kenangan Sumanto al Qurtuby.
Kolom ini saya buat sebagai semacam “in memoriam” untuk mengenang almarhum Prof. Dr. KH Ali Musthafa Ya'qub (1952 – 2016), mantan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Guru Besar Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Jakarta, tokoh Nahdlatul Ulama, dan seorang ulama pakar Hadis dan Ilmu Hadis yang sangat mumpuni dan langka di Indonesia. Ulama kelahiran Desa Kemiri, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, ini juga seorang penulis produktif khususnya di bidang hukum Islam, tafsir Al-Qur'an, dan tafsir Hadis.
Salah satu gagasan dan pemikirannya yang cemerlang, bernas, dan patut direnungkan secara mendalam oleh umat beragama adalah tentang merosotnya spirit atau etos “ibadah sosial” dan meningkatnya atau maraknya perilaku “ibadah personal” atau “ibadah individual” khususnya di kalangan umat Islam, lebih khusus lagi umat Islam di Indonesia.
Menurut Kiai Ali Musthafa yang alumnus Universitas Islam Imam Muhammad Bin Saud dan Universitas King Saud (Riyadh, Arab Saudi) ini, ada dua kategori ibadah dalam Islam, yaitu (1) ibadah qashirah (ibadah individual) yang pahala dan manfaatnya hanya dirasakan oleh pelaku ibadah saja dan (2) ibadah muta'addiyah (ibadah sosial) dimana pahala dan manfaat ibadahnya tidak hanya dirasakah oleh yang bersangkutan tetapi juga oleh orang lain.
Menurut Kiai Ali, contoh “ibadah individual” ini adalah haji, umrah, puasa, salat, dlsb. Sementara contoh “ibadah sosial” adalah menyantuni anak yatim, membantu fakir-miskin, memberi bantuan beasiswa pendidikan, menolong para korban bencana, menggalakkan penanggulangan kemiskinan dan kebodohan, merawat alam dan lingkungan, berbuat baik dan kasih sayang kepada sesama umat dan mahluk ciptaan Tuhan, menghargai orang lain, menghormati kemajemukan, dan masih banyak lagi. Semua itu merupakan bentuk-bentuk ibadah sosial yang memberi manfaat atau kemaslahatan kepada masyarakat banyak.
Ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual
Islam, menurut Kiai Ali, memberikan prioritas pada “ibadah sosial” ini ketimbang “ibadah individual”. Kiai Ali mengutip sebuah Hadis Qudsi yang diriwayatkan Imam Muslim dimana Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Tuhan (Allah SWT) itu ada—dan dapat ditemui—di sisi orang sakit, orang kelaparan, orang kehausan, dan orang menderita.”
Itulah sebabnya Nabi Muhammad sepanjang hayatnya lebih banyak didedikasikan untuk membela kaum lemah dan tertindas serta melawan keserakahan dan keangkaramurkaan. Beliau lebih banyak menjalankan aneka bentuk ibadah sosial-kemasyarakatan ketimbang ritual-ritual keagamaan yang bersifat personal. Dalam sebuah kaedah fiqih juga dinyatakan: “al-muta'addiyah afdhal min al-qashirah” (ibadah sosial jauh lebih utama daripada ibadah individual).
Prioritas Islam terhadap ibadah sosial daripada ibadah individual ini juga ditegaskan, tersurat, dan tersirat di dalam ribuan ayat-ayat Al-Qur'an yang memberi ruang sangat besar terhadap dimensi-dimensi sosial-kemanusiaan. Aspek-aspek “ritual-ketuhanan” justru mendapat jatah yang sangat sedikit dalam ayat-ayat Al-Qur'an.
Berdasarkan sejumlah fakta dalam Al-Qur'an inilah, ditambah dengan praktik-praktik kenabian, banyak ulama, sarjana, dan pakar Islam yang menyebut Islam sebagai agama pro-kemanusiaan. Pakar kajian Islam dan studi Al-Qur'an seperti mendiang Fazlur Rahman (1919–1988), misalnya, dalam sejumlah karyanya seperti Islam, Prophecy in Islam, atau Major Themes of the Qur'an pernah menegaskan bahwa Islam adalah “agama antroposentris” yang memberi penekanan atau prioritas pada masalah-masalah kemanusiaan universal, dan bukan “agama teosentris” yang berpusat atau bertumpu pada hal-ikhwal yang berkaitan dengan ibadah ritual individual-ketuhanan.
Terperangkap” ke dalam pernik-pernik “ibadah individual”
Meskipun Islam, Al-Qur'an, dan Nabi Muhammad SAW, jelas-jelas memberi ruang yang sangat besar pada masalah-masalah “ritual kemanusiaan” universal; umat Islam, sayangnya, justru lebih sibuk memikirkan dan mempraktikkan aneka “ritual ketuhanan” partikular. Meskipun Islam menegaskan ibadah sosial jauh lebih utama ketimbang ibadah individual, (sebagian) kaum Muslim malah “terperangkap” ke dalam pernik-pernik “ibadah individual”.
Kaum Muslim begitu hiruk-pikuk dan semangat menggelorakan pentingnya haji, salat, puasa, zikir di masjid, dan semacamnya, tetapi melupakan kemiskinan global, kebodohan massal, penderitaan publik, keamburadulan tatanan sosial, kehancuran alam-lingkungan, korupsi akut yang menggerogoti institusi negara dan non-negara, dlsb. Umat Islam begitu bersemangat naik haji berkali-kali atau umrah bolak-balik dan mondar-mandir ke Mekkah dan Madinah, tidak mempedulikan besarnya biaya, tetapi mereka pikun dan tutup mata dengan aneka persoalan sosial-kemanusiaan yang menggunung di depan matanya.
Indonesien Sumanto al Qurtuby
Umat Islam sibuk mengejar “kesalehan individual” dengan menghadiri beragam pengajian spiritual tetapi mengabaikan “kesalehan sosial” dan absen menghadiri “pengajian sosial” dengan blusukan ke tempat-tempat kumuh untuk menyambangi umat yang menderita dan kelaparan. Umat Islam rajin menumpuk pahala akhirat bak “pedagang spiritual” tetapi rabun bin pikun dengan problem sosial-kemasyarakatan yang ada di sekelilingnya. Umat Islam begitu sibuk “memikirkan” Tuhan, padahal Tuhan sendiri—seperti ditunjukkan dalam berbagai Firman-Nya dalam Al-Qur'an dan dalam Hadis Qudsi tadi—begitu “sibuk” memikirkan manusia.
Saya menyebut fenomena di atas sebagai bentuk keberagamaan yang egoistik atau individualistik yang hanya mementingkan diri-sendiri dan demi mengejar kebahagiaan dan keselamatan dirinya sendiri kelak di alam akhirat, sementara cenderung bersikap masa bodoh atau acuh dengan berbagai kebobrokan, penderitaan, ketimpangan, ketidakadilan, dan kesemrawutan yang menimpa umat manusia di alam dunia ini. Umat Islam “pemburu surga” yang egois-individualis dan “salah jalan” inilah yang menjadi sasaran kritik Kiai Ali Musthafa. Semoga beliau damai di alam baka.
Penulis:
Sumanto al Qurtuby, Staf Pengajar Antropologi Budaya dan Kepala General Studies Scientific Research, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi.